Type Here to Get Search Results !

Sisa Makanan Kami Diolah Jadi Gas


Sudah lebih dari tiga bulan saya beserta 8 peserta lain berada di Thailand, yang dikenal dunia sebagai ‘Land of Smiles’. Pertanyaan umum yang biasanya dilontarkan oleh kawan baik dari Indonesia maupun Thailand, “Gimana sih rasanya di Thailand? Gimana sih orang-orang Thailand itu? Enak gak di sana?”

Orang-orang Thailand mirip dengan orang Indonesia parasnya. Seringkali orang Thailand sendiri mengira kami orang lokal. Apalagi, jika kami menggunakan sepatah-dua patah Bahasa Thailand seperti untuk memesan makanan, menanyakan harga, dan meminta potongan harga.

Kami dibekali pengetahuan dasar Bahasa Thailand oleh pihak kampus supaya dapat ‘hidup’ di sini. Lumayan, bisa dapat harga lokal loh!  

Thailand. Orang-orangnya ramah. Teman-teman di sini senang bertemu dengan ‘orang asing’ seperti kita. Mereka berusaha untuk berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Sebagian ada yang lancar ada juga yang kurang lancar.

Tapi, mereka tak malu untuk berbicara. Salut! Rasa saling menghargai juga kental terasa di sini. Banyak kaum transgender yang bisa bekerja di manapun mereka mau, kaum penyuka sesama jenis juga bebas mengakui pasangannya.

Tak ada yang mengolok, tak ada yang melemparkan senyum sinis. Udara di sini menurut saya panas dan pengap. Walaupun hujan turun, itu tidak terlalu berpengaruh. Mungkin karena kami tinggal di bagian selatan Thailad, yang berada di daerah tropis.

Kampus disini nyaman dan besar. King Mongkut's University of Technology Thonburi (KMUTT) merupakan kampus ‘terhijau’ urutan pertama di Thailand. Lingkungan kampus dirawat dengan apik dan pelajarnya pun disiplin menjaga kebersihan. 

Di sini, tempat sampah tersedia dan tersebar di seluruh titik. Ada lima jenis tempat sampah, untuk yang masih bisa digunakan ulang dan yang tidak bisa. Seperti aluminium foil yang sudah dipakai, plastik bekas pembungkus makanan, dan sebagainya.

Untuk yang berupa toxic atau racun, untuk sisa-sisa praktik. Sebagai catatan kampus kami di sini adalah kampus teknik dan sisa makanannya sampah organik. Ada yang unik dari kantin kampus kami.

Setelah makan, kami harus mengantar peralatan makan yang kami gunakan ke suatu meja. Di sana, ada klasifikasinya lagi. Sampah sisa makanan dibuang ke suatu tempat, sementara sampah seperti gelas minum, tissue, dibuang ke tong sampah lain lagi.

Sendok, garpu, sumpit diletakkan di suatu tempat. Piring dan mangkuk disusun di tempat lainnya. Ini dilakukan untuk membuat pekerjaan petugas kebersihan lebih mudah. Sisa makanan yang kami buang akan diolah oleh pihak kampus menjadi energi organik untuk listrik dan gas.

Tidak seperti di Indonesia, kuliner di Thailand banyak yang ‘tidak halal’ karena mengandung babi. Mulai dari jajanan di jalan, mie instan, keripik, rumah makan, hingga restoran siap saji seperti Mc Donald, dan lainnya.

Di pasar basah, babi juga dijual terbuka dan bebas. Tapi tenang saja, mencari makanan tanpa babi di sini juga tidak sulit. Seorang teman muslim yang ikut serta dalam pertukaran ini tidak memiliki kendala dalam hal pangan.

“Yang penting bilang Mai Muu sama yang jual,” ujar kawan saya yang beragam muslim yang ikut dalam kegiatan ini. Mai Muu dalam Bahasa Thailand berarti tidak dicampur dengan babi.

Biaya hidup di Thailand tidak terlalu tinggi, tapi tergantung gaya hidup. Untuk makanan, lebih murah jika kita makan di kantin kampus, biasanya hanya menghabiskan 25 Baht untuk nasi dan dua lauk.

Makanan di mal berkisar 40 Baht ke atas. Di sini ada banyak buffet dengan harga yang tidak terlalu mahal. Contohnya, untuk buffet Korean BBQ kami menghabiskan 290 Baht (berkisar Rp 120.000,00).

Untuk buffet Jepang kami menghabiskan sekitar 99 Baht hingga 500 Baht. Lain rumah makan, lain kebijakannya. Di tempat buffet Korean BBQ, jika kita datang lebih dari tiga orang, kita bisa makan di sana free flow tanpa batasan waktu. Kalau datang tiga orang atau kurang? Mereka hanya memberi kita waktu 90 menit.

Penyuka fashion? Berkunjung ke Bangkok bisa dibilang pilihan yang tepat. Di sini harga kaos dengan kualitas lumayan bisa didapatkan dengan harga 100 Baht. Surga belanja ada di Pasar Chatuchak di Bangkok yang hanya buka di akhir pekan. Selain itu, Platinum Fashion mal yang mirip dengan Tanah Abang di Jakarta.

Selain mal, masih banyak tempat lain yang patut dikunjungi. Seperti Grand Palace, Asiatique, kampus kami, dan masih banyak lagi. Saya dan peserta lain akan pulang ke Batam, Kepulauan Riau pada tanggal 24 Desember 2013 tahun ini. Jika ada kesempatan, datang ke Bangkok ya?

*Gabriela Rosari Rindra Kartini merupakan mahasiswi program studi Sistem Informasi di Universitas Internasional Batam (UIB). Penulis mendapatkan kesempatan menimba ilmu di King Mongkut University of Technology Thonburi (KMUTT) Bangkok, Thailand. Alamat korespondensi: gberocks@gmail.com